Allah bilang apa yang kamu benci belum tentu jelek bagimu dan apa yang kamu sukai belum tentu baik bagimu. Somehow, apa yang kita butuhkan memang bukan yang kita inginkan. Keinginan itu seringkali menyesatkan, sementara kebutuhan adalah pelindung. 

Kejadian yang paling sering terjadi adalah kita menyukai semua keinginan kita, kita bahkan memuja keinginan2 itu. Fokus kita selalu pada keinginan2 yang tanpa batas dan terus “ngelunjak”.  Sementara apa yang terjadi dengan kebutuhan kita? Jangan2 kita malah tak tahu menahu apa kebutuhan kita yang paling fatal dan vital. Saking gak tahunya, kita sering membenci sesuatu yang diberikan pada kita karena kita sebetulnya butuh sesuatu itu! Hanya karena sesuatu itu bukan keinginan kitalah maka kita benci! 

Ini berlaku tak hanya pada benda material tapi juga pada manusia. Orang disekeliling kita. Yes. Orang yang ada disekitar kita. Ada yang setengah mati tak kita sukai, ada yang kita sukai. Ada yang bak jamu, pait dan getir, ada pula yang laksana ice cream, manis, lembut dan adem. Tapi seringkali jamu itu berfungsi sebagai obat dan ice cream malah jadi sumber penyakit. Who knows best??? Kitakah? Nope. HE IS.

Seberapa lama dan seberapa perlunya kita di “therapi” kepahitan dan kegetiran itu tergantung seberapa butuhnya kita untuk “sembuh” sesuai munajad doa-doa kita untuk diampuni, diangkat derajat dan dimasukkan dalam surgaNya. Ini therapi yang jauh lebih penting sebetulnya daripada bergelimang bahagia karena keinginan2 yang terwujud namun tak menyembuhkan “penyakit” kita. Kebutuhan2 kita tak dipenuhi.

Sesungguhnya jika kita mau menengok kebelakang, kebencian kita terhadap sesuatu yang tak kita sukai, jikalau dihadapi secara benar, justru mengarahkan kita pada jalan lurus. Jalan “kesembuhan” dan “pemulihan” menuju DIA. Jalan “perontokan dosa” dan “pembersihan jiwa”. Begitu pahit dan getirnya ketidaksukaan kita itu sehingga mau tak mau kita memilih jalan pengampunan, jalan insaf atas kebodohan dan ketidakberdayaan kita. Kita harus dipaksa begitu karena kita manusia bebal yang tak mempan panggilan nasehat. Lalu mengapa risau? Bukankah kita membaik dalam pandangan rohani? Meski memburuk secara fisik?

Lagi lagi keinginan kitalah tentang “semoga badai cepat berlalu* tapi siapa yang tau seberapa parah kita butuh “jamu pait”? Kitakah? Nope. HE IS. Dialah yang tahu pasti seberapa lama “pengobatan” itu kita butuhkan. Seberapa tinggi level therapi yang kita butuhkan, supaya syarat2 “bersih jiwa” itu terpenuhi.

Bukan perkara enak memang ketika kita sedang dalam proses pembersihan atau pengobatan. Banyak yang bahkan gagal menelan pil pahit sehingga harus diulang lalu diulang lagi. Dimuntahkan saking pahitnya tapi harus kembali mencoba menelan. Semakin mengulur waktu, membuang kesempatan, akan semakin molor pula waktu therapinya. Lalu untuk apa berdoa “semoga badai cepat berlalu” jikalau menelan pil pahit saja harus terus gagal karena dihindari atau dimuntahkan kembali? 

Telanlah pil pahitmu dengan sabar…. Begitu kira2 artinya ayat ini 

Dan untuk ini Allah telah memberikan banyak contoh dalam sejarah perjalanan para nabi dan rasul yang diabadikan dalam quran. Bahwa mereka tak pernah lekang dari masalah. Hidup mereka adalah cerita yang penuh dengan masalah, masalah yang terus berpindah pindah saja, tak pernah benar benar hilang, hanya “berganti baju”. 

Kita tak pernah suka apa yang bukan keinginan kita. Tapi jika Allah sayang dan masih sayang kita, harusnya memang Allah tak akan peduli apa keinginan kita, melainkan peduli pada apa kebutuhan kita. Seperti seorang ibu yang merawat anaknya yang sakit… Seperti itulah Allah mengetahui apa yang kita perlukan. 

Harusnya kita memang bisa selalu bijak dan ingat tentang kepahitan yang membersihkan… Bukan kesenangan yang melalaikan. Tentang kebutuhan dirawat dan bukan keinginan membiarkan. Tentang peduliNya dan bukan pengabaianNya. Tentang sayangNya dan bukan hukumanNya. 

Ya Rabb…. Bodohnya kami…..